Penularan hiv aids
Seperti kita ketahui, penularan hiv aids
bisa bersifat seksual maupun non-seksual. Bersifat seksual artinya
penularan tersebut melalui hubungan intim dimana salah satu pihak sudah
terkena virus hiv terlebih dahulu. Dan bersifat non-seksual jika
penularan itu terjadi selain lewat hubungan intim, seperti transfusi
darah, pemakaian jarum suntik bersama, ataupun pada saat persalinan dari
ibu yang terkena virus hiv kepada bayinya.
Dari
sekian banyaknya kasus hiv aids di Indonesia, maka 95 % diantaranya
disebabkan oleh hubungan seksual. Dari jumlah tersebut 65 % merupakan
hubungan heteroseksual dan 30 % homoseksual. Yang mengagetkan adalah
baru-baru ini terungkap fakta bahwa penularan hiv aids dikalangan ibu
rumah tangga lebih tinggi dari pada penularan yang terjadi pada pekerja
seks komersial (PSK), seperti dilaporkan oleh beberapa Komisi
Penanggulangan Aids (KPA) di daerah Bangka Belitung dan Yogyakarta.
Hiv Aids di Indonesia
Kasus
hiv aids di negara kita pertama kali muncul pada 1987, di Bali. Saat
itu seorang wisatawan asal Belanda meninggal di RS Sanglah, Denpasar,
karena terkena penyakit hiv aids. Setelah itu bermunculan beberapa kasus
hiv aids yang lain.
Untuk menangani
berbagai kasus hiv aids di Indonesia dibentuklah Komisi Penanggulangan
Aids dengan dibantu oleh Badan Koordinasi keluarga Berencana nasional
(BKKBN). Setidaknya dewasa ini ada delapan provinsi yang menjadi
prioritas penanggulangan hiv aids yaitu : Papua, Papua Barat, Sumatera
Utara, Jawa Timur, Jakarta, Kepulauan Riau, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.
Meski
telah banyak upaya dilakukan untuk mencegah hiv aids, namun sejumlah
kasus hiv aids di Indonesia menunjukkan, betapa banyak penularan hiv
aids terjadi karena kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat pada
penyakit ini. Kenyataan tersebut ibarat menggugat kita pada pertanyaan
yakni apakah semua upaya yang telah dilakukan untuk mencegah penyebaran
hiv aids itu berdampak efektif di masyarakat ? Ataukah kita salah
prediksi dengan menganggap seolah masyarakat sudah mengerti dan
menyadari betul tentang bahaya hiv aids, padahal faktanya tidak demikian
?
Pemerintah dalam hal ini KPA dan
BKKBN serta berbagai elemen masyarakat memang tak pernah berhenti
memberikan informasi seputar hiv aids. Begitupun berbagai sarana dipakai
untuk membantu masyarakat memahami tentang apa dan bagaimana penyebab,
gejala, pencegahan, dan cara penularan hiv aids. Dari sarana yang
paling sederhana seperti temu wicara masyarakat dengan petugas
penyuluhan hiv aids di pelosok desa, sampai yang melibatkan perangkat
hi-tech dan multimedia terkini.
Nyatanya
potret penularan hiv aids dan penyebarannya di Indonesia mencuatkan hal
yang paradoksal. Disatu sisi tak bisa dipungkiri bahwa, pemerintah dan
berbagai elemen masyarakat telah banyak melakukan upaya dalam pencegahan
hiv aids di Indonesia. Namun pada sisi lain korban terus berjatuhan,
dan jumlah penderita hiv aids menunjukkan grafik yang meningkat dari
tahun ke tahun. Selain paradoksal kenyataan itu juga menggelitik untuk
segera dicari jawabannya.
Jika
demikian halnya, adalah wajar bila kita bertanya apakah semua upaya yang
dilakukan itu berdampak efektif dalam mencegah penularan hiv aids dan
penyebarannya di masyarakat ? Jika ada yang kurang dalam upaya tersebut,
lalu apa yang mesti ditambahkan ? Jika ada yang salah, lalu apa yang
harus dikoreksi ? Semua itu adalah agar korban tidak terus berjatuhan
dan jumlah penderita hiv aids tidak lagi bertambah
Cara baru dalam penanganan hiv aids
Mencegah penularan dan penyebaran hiv aids di Indonesia, memang bukan pekerjaan mudah. Penularan dan penyebaran penyakit hiv aids merupakan masalah sosial yang dipengaruhi banyak faktor. Misalnya budaya, sikap mental, pengetahuan, kesadaran masyarakat, pendekatan, teknik dan cara penyuluhan hiv aids itu sendiri, isi pesan yang disampaikan dan lain-lain.Seharusnya dengan semakin banyak upaya atau program dilakukan untuk mencegah hiv aids, maka korban dan penderita hiv aids akan turun. Namun faktanya tidak demikian. Kecenderungannya penderita aids terus meningkat dari waktu ke waktu.
Jika demikian, mungkinkah kita memerlukan cara penanganan hiv aids yang baru, yang berbeda dari sebelumnya ? Yaitu agar penularan dan penyebaran hiv aids di Indonesia bisa segera diatasi bersama.
Salah satu yang sering dikesampingkan dalam penanganan hiv aids adalah pendekatan moral dan agama. Pendekatan moral dan agama sudah dianggap “tidak penting” lagi. Buktinya adalah adanya wacana pembagian kondom gratis untuk mencegah penularan hiv aids di kalangan masyarakat yang rentan terhadap bahaya hiv aids.
Wacana itu pun menuai banyak kritikan karena dianggap memberi peluang bagi seks bebas yang dilarang agama. Wacana itu lalu dihentikan, tapi hal itu terlanjur membuktikan bahwa nilai-nilai moral dan keagamaan telah dinomorduakan dalam upaya pencegahan hiv aids.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar