Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS)
adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus human immunodeficiency
virus (HIV). AIDS dikarakteristikkan sebagai penyakit imunosupresif berat
yang sering dikaitkan dengan infeksi oportunistik dan tumor ganas serta
degenerasi susunan saraf pusat. Penggunaan obat antivirus seperti highly
active antiretroviral therapy (HAART) dan persalinan berencana dengan
seksio sesaria telah menurunkan angka transmisi perinatal mother to child
trasmission (MTCT) penyakit ini dari 30% menjadi 20%. Manejemen antenatal,
persalinan, dan perawatan pascasalin yang terkontrol dengan baik pada ibu hamil
dengan HIV dapat mencegah transmisi perinatal.
Efek Kehamilan Pada AIDS
Kadar
plasma HIV dan sel CD4 merupakan penanda beratnya penyakit. Kadar
rata-rata CD4 pada orang dewasa sehat 500-1.500 sel/ìL. Pada
semua wanita hamil kadar CD4 menurun 543±169 sel/ìL tetapi tidak
menggambarkan terinfeksi atau tidaknya wanita tersebut oleh HIV. Kehamilan
tidak dihubungkan dengan beratnya AIDS. Sedangkan Efek AIDS pada kehamilan Infeksi HIV meningkatkan
insidensi gangguan pertumbuhan
janin dan persalinan prematur pada
wanita dengan penurunan kadar CD4 dan penyakit
yang lanjut. Tidak ditemukan hubungan kelainan
kongenital dengan infeksi HIV. Semua wanita
hamil HIV positif harus dilakukan pemeriksaan yang ketat dan dilakukan juga
pengobatan terhadap infeksi genital selama kehamilannya. Hal ini harus
dilakukan sedini mungkin. Salah satunya Ultrasonografi (USG)
mendetail tentang adanya anomali janin sangat penting dilakukan terutama wanita
hamil yang telah terpapar obat HAART dan antagonis folat yang digunakan untuk
profilaksis PCP, dengan Monitoring janin intensif termasuk adanya gangguan
anatomi, gangguan pertumbuhan, dan fetal well being pada saat
trisemester III diharuskan pada ibu hamil yang mendapat obat kombinasi HAART
untuk melihat efek obat pada janin.
PECEGAHAN
:
HIV sering ditransmisikan melalui darah, sehingga
usaha pencegahan dilakukan dengan beberapa cara, antara lain: meskipun
asimtomatik setiap individu yang terinfeksi HIV dapat menularkan-nya kepada
individu yang lain, sehingga dibutuhkan pemeriksaan kesehatan rutin. Individu
yang terinfeksi dilarang untuk menjadi pendonor baik itu donor darah, plasma,
organ tubuh, jaringan, atau sperma. Seluruh peralatan yang dapat berkontaminasi
dengan darah seperti sikat gigi atau alat cukur tidak boleh digunakan bersama.
Penderita HIV harus mengatakan kepada pihak medis bahwa mereka terinfeksi dan
bila membutuhkan perawatan kesehatan harus mendapatkan perawatan khusus sesuai
dengan prosedur penanganan penderita HIV untuk menghindari penularan kepada
orang lain. Pemeriksaan antibodi HIV harus diberikan terhadap orang yang
bertendensi berkontak dengan penderita seropositif seperti pasangan seksual,
orang yang sering bertukar pakai jarum, dan bayi yang dilahirkan dari ibu
seropositif.
PENATALAKSANAAN:
1.
Pencegahan
Penularan HIV dari Ibu ke anak Pencegahan
Penularan HIV dari Ibu ke Anak dilaksanakan melalui kegiatan komprehensif yang
meliputi empat pilar (4 prong), yaitu:
a.
Pencegahan
penularan HIV pada perempuan usia reproduksi (15-49 tahun).
b.
Pencegahan
kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan HIV positif.
c.
Pencegahan
penularan HIV dari ibu hamil ke bayi yang dikandungnya.
d.
Dukungan
psikologis, sosial, dan perawatan kesehatan selanjutnya kepada ibu yang
terinfeksi HIV dan bayi serta keluarganya
Pencegahan penularan HIV pada
perempuan usia reproduksi
Langkah dini yang paling efektif
untuk mencegah terjadinya penularan HIV pada anak adalah dengan mencegah
penularan HIV pada perempuan usia reproduksi 15-49 tahun (pencegahan primer).
Pencegahan primer bertujuan mencegah penularan HIV dari ibu ke anak secara
dini, yaitu baik sebelum terjadinya perilaku hubungan seksual berisiko atau
bila terjadi perilaku seksual berisiko maka penularan masih bisa dicegah,
termasuk mencegah ibu dan ibu hamil agar tidak tertular oleh pasangannya yang
terinfeksi HIV.
Upaya pencegahan ini tentunya
harus dilakukan dengan penyuluhan dan penjelasan yang benar terkait penyakit
HIV dan AIDS, dan penyakit IMS dan di dalam koridor kesehatan reproduksi. Isi
pesan yang disampaikan tentunya harus memperhatikan usia, norma, dan adat
istiadat setempat, sehingga proses edukasi termasuk peningkatan pengetahuan
komprehensif terkait HIV dan AIDS dikalangan remaja semakin baik.
Untuk menghindari perilaku
seksual yang berisiko upaya mencegah penularan HIV menggunakan strategi “ABCD”,
yaitu :
a.
A
(Abstinence), artinya Absen seks atau tidak melakukan hubungan
seks bagi orang yang belum menikah;
b.
B
(Be Faithful), artinya Bersikap saling setia kepada satu pasangan
seks (tidak berganti-ganti pasangan);
c.
C
(Condom), artinya Cegah penularan HIV melalui hubungan seksual
dengan menggunakan kondom;
d.
D
(Drug No), artinya Dilarang menggunakan narkoba.
Kegiatan yang dapat dilakukan
pada pencegahan primer antara lain:
a.
Menyebarluaskan
Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) tentang HIV dan AIDS dan Kesehatan
Reproduksi, baik secara individu maupun kelompok, untuk:
1)
Meningkatkan
kesadaran masyarakat tentang cara menghindari penularan HIV dan IMS.
2)
Menjelaskan manfaat mengetahui status atau tes
HIV sedini mungkin.
3)
Meningkatkan
pengetahuan petugas kesehatan tentang tata laksana ODHA perempuan.
4)
Meningkatkan
keterlibatan aktif keluarga dan komunitas untuk meningkatkan pengetahuan
komprehensif HIV dan IMS
Sebaiknya,
pesan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak juga disampaikan kepada remaja,
sehingga mereka mengetahui cara agar tidak terinfeksi HIV. Informasi tentang
Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak juga penting disampaikan kepada
masyarakat luas sehingga dukungan masyarakat kepada ibu dengan HIV dan
keluarganya semakin kuat.
b.
Mobilisasi
masyarakat
1)
Melibatkan
petugas lapangan (seperti kader kesehatan/PKK, Petugas Lapangan Keluarga
Berencana (PLKB), atau posyandu) sebagai pemberi informasi pencegahan HIV dan
IMS kepada masyarakat dan untuk membantu klien mendapatkan akses layanan
kesehatan.
2)
Menjelaskan
tentang cara pengurangan risiko penularan HIV dan IMS, termasuk melalui
penggunaan kondom dan alat suntik steril.
3)
Melibatkan
komunitas, kelompok dukungan sebaya, tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam
menghilangkan stigma dan diskriminasi
c. Layanan tes HIV
Konseling
dan tes HIV dilakukan melalui pendekatan Konseling dan Tes atas Inisiasi
Petugas Kesehatan (TIPK) dan Konseling dan Tes Sukarela (KTS), yang merupakan
komponen penting dalam upaya Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak. Cara
untuk mengetahui status HIV seseorang adalah melalui tes darah. Prosedur
pelaksanaan tes darah dilakukan dengan memperhatikan 3 C yaitu Counselling,
Confidentiality, dan informed consent. Jika status HIV ibu sudah diketahui,
1)
HIV
positif: lakukan intervensi PPIA komprehensif agar ibu tidak menularkan HIV
kepada bayi yang dikandungnya
2)
HIV
negatif: lakukan konseling tentang cara menjaga agar tetap HIV negatif
Layanan konseling dan
tes HIV diintegrasikan dengan pelayanan KIA sesuai dengan strategi Layanan
Komprehensif Berkesinambungan, agar:
1)
Konseling
dan tes HIV dapat ditawarkan kepada semua ibu hamil dalam paket pelayanan ANC
terpadu, sehingga akan mengurangi stigma terhadap HIV dan AIDS;
2)
Layanan
konseling dan tes HIV di layanan KIA akan menjangkau banyak ibu hamil, sehingga
pencegahan penularan ibu ke anaknya dapat dilakukan lebih awal dan sedini
mungkin.
3)
Penyampaian
informasi dan tes HIV dapat dilakukan oleh semua petugas di fasilitas pelayanan
kesehatan kepada semua ibu hamil dalam paket pelayanan ANC terpadu,
sehingga akan mengurangi stigma terhadap HIV dan AIDS.
4)
Pelaksanaan
konseling dan tes HIV mengikuti Pedoman Konseling dan Tes HIV; petugas
wajib menawarkan tes HIV dan melakukan pemeriksaan IMS, termasuk tes
sifilis, kepada semua ibu hamil mulai kunjungan antenatal pertama bersama
dengan pemeriksaan laboratorium lain untuk ibu hamil (inklusif dalam paket
pelayanan ANC terpadu).
5)
Tes
HIV ditawarkan juga bagi pasangan laki-laki perempuan dan ibu hamil yang dites
(couple conselling);
6)
Di
setiap jenjang layanan kesehatan yang memberikan layanan PPIA dalam paket
pelayanan KIA, harus ada petugas yang mampu melakukan konseling dan tes HIV;
7)
Di
layanan KIA, konseling pasca tes bagi perempuan HIV negatif difokuskan pada
informasi dan bimbingan agar klien tetap HIV negatif selama kehamilan, menyusui
dan seterusnya;
8)
Konseling
penyampaian hasil tes bagi perempuan atau ibu hamil yang HIV positif juga
memberikan kesempatan untuk dilakukan konseling berpasangan dan
penawaran tes HIV bagi pasangan laki-laki;
9)
Pada
setiap jenjang pelayanan kesehatan, aspek kerahasiaan ibu hamil ketika
mengikuti proses konseling sebelum dan sesudah tes HIV harus terjamin;
10) Menjalankan konseling dan tes HIV
di klinik KIA berarti mengintegrasikan juga program HIV dan AIDS dengan layanan
lainnya, seperti pemeriksaan rutin untuk IMS, pengobatan IMS, layanan kesehatan
reproduksi, pemberian gizi tambahan, dan keluarga berencana;
11) Upaya pengobatan IMS menjadi satu
paket dengan pemberian kondom sebagai bagian dari upaya pencegahan.
d. Dukungan untuk perempuan yang HIV
negatif.
1) Ibu hamil yang hasil tesnya HIV
negatif perlu didukung agar status dirinya tetap HIV negatif;
2) Menganjurkan agar pasangannya
menjalani tes HIV;
c. Membuat pelayanan
KIA yang bersahabat untuk pria, sehingga mudah dan dapat diakses oleh
suami/pasangan ibu hamil;
d. Mengadakan
kegiatan konseling berpasangan pada saat kunjungan ke layanan KIA;
e. Peningkatan
pemahaman tentang dampak HIV pada ibu hamil, dan mendorong dialog yang lebih
terbuka antara suami dan istri/ pasangannya tentang perilaku seksual yang aman;
f. Memberikan
informasi kepada pasangan laki-laki atau suami bahwa dengan melakukan hubungan
seksual yang tidak aman, dapat berakibat pada kematian calon bayi, istri dan
dirinya sendiri;
g. Menyampaikan informasi kepada
pasangan laki-laki atau suami tentang pentingnya memakai kondom untuk mencegah
penularan HIV.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar